Senin, 12 April 2010

COVER

Cover diartikan sebagai tutup, penutup, sampul (kamus 2.02)

Ada istilah yang sering didengar yaitu
don’t judge a book by its cover” (semoga gw ga salah menulisnya).

Kadang kala penampilan dari desain buku berbeda dengan isi didalamnya. Gw pernah kecewa membeli sebuah buku yang covernya menarik, simple dan elegan menurut gw. Judul buku itu pun menarik, memancing gw untuk membelinya. Oke, mungkin buku itu memang bagus, tapi gw sulit kali mencerna dan akhirnya hingga kini gw belum meng-khatamkannya.

Kasus selanjutnya, gw meminjam buku punya murabbi gw yang covernya biasa-biasa aja. Berwarna biru dan menurut gw desainnya terlalu sederhana dan cenderung tidak menarik. SubhanALLAH, ketika membaca buku ini, sejak bab pertama sudah membuat gw terhanyut akan bahasanya. Dan gak heran kalo gw cepat menamatkan membaca buku ini.

Kedua buku yang gw maksudaan itu sama-sama bertujuan untuk menambahkan nilai ruhiyah yang muaranya pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. Kedua buku itu sebenarnya berisi pesan-pesan spiritual dan motivasi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itu yang gw tangkap semula dari resensi di cover belakang buku.

Dari kejadian ini, kadang-kala isi dari buku belum tentu sebagus covernya atau dengan kata lain isi dari buku juga belum tentu sejelek covernya.

Kembali ke istilah “don’t judge a book by its cover”

Begitupun manusia.

Pernah pada suatu hari, gw naik angkutan umum menuju daerah tarandam. Biasanya, bus-bus kota atau angkutan umum di daerah Padang selalu up-date dengan lagu-lagu terkini, mungkin itu wajar, but worst tidak jarang juga diputarkan music ajep-ajep dengan speaker menggelegar luar biasa (lebay…), menjadikan bus kota atau angkot bukan tempat yang tepat untuk mencari ketenangan. Mungkin tidak seluruhnya, tapi sebagian besar memang iya.

Di hari itu, gw justru naik angkot yang berbeda, di awal gw naik, shalawat-shalawat yang diputar oleh sang supir, selanjutnya beralih ke lagu-lagu rohani dari band-band terkini. Hampir ke tempat tujuan, berputar nasyid haraki. Dan volumenya, tidak kecil tidak juga memekakkan telinga. Gw semakin penasaran sama pak supir karena memang tak jelas terlihat dari bangku penumpang. Bagi gw, ini fenomena yang berbeda dengan kenyataan yang sering gw jalani. Saat membayar, gw mengamati pak supirnya, dan ternyata pak supirnya bukan bapak-bapak, berumur sekitar 20-30 tahun, berambut gondrong, wajah keras terkesan sangar (mungkin karena hidupnya memang keras), dan cenderung mirip preman.

Kasus selanjutnya di angkot Bukittinggi saat masa gw KKN. GW dan teman-teman pergi ke Bukittinggi yang tidak begitu jauh letaknya dari lokasi KKN gw, sekitar setengah jam dari Baso. Saat itu kami berniat untuk berbelanja berbagai macam keperluan sekaligus jalan-jalan (refreshing) ke Jam Gadang. Saat ingin pulang, di dalam angkot menuju aur (nama pasar dan terminal di Bukittinggi) ada seorang ibu duduk di sebelah teman gw mengajak ngobrol. Ibu tersebut sangat ramah. Setelah ibu itu turun, teman gw yang duduk di sebelah ibu tadi tersadar Hp-nya sudah tidak ada. Sebelumnya dia masih menggunakan Hp itu di dalam angkot dan memasukkannya kembali ke dalam kantong. Memang situasi dalam angkot sangat sesak sehingga teman gw tidak sadar saat Hp nya diambil.

Itu mungkin sedikit dari kejadian-kejadian yang gw alami. Kita memang tidak bisa langsung menilai orang lain hanya dari penampilannya saja. Tidak selamanya penampilan dan tutur bahasa berbanding lurus dengan sifat hati manusia..

terkadang hal yang kita fikirkan baik ternyata belum tentu itu baik dan kadangkala hal yang kita fikirkan buruk belum tentu itu buruk. Wallahualam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar